Cari Blog Ini

About Me

Foto saya
aku tuch mungkin saat pertama ketemu kesannya kayak anak jutek gitu, tapi padahal nggak lo... aku anaknya baik hati, ya walopun kadang keras kepala sich, hehehe nim ku di kelas : 109421420188

Label

Senin, 03 Januari 2011

makalah masalah kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN

A.           LATAR BELAKANG
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah "negara berkembang" biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang "miskin".
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup: Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara berkembang.
Kemiskinan ada dimana-mana. Di negara maju, di negara miskin, di desa, di kota. Wajah kemiskinan menjelma dalam berita berita koran, dalam wacana intelektual di seminar-seminar juga dalam puisi. Orang miskin sendiri tak begitu sadar kalau mereka diperbincangkan terus menerus. Nyatanya, yang miskin tetap saja miskin.Nasib mereka tak juga berubah
Atasnama kemiskinan, berbagai program dimunculkan. Beragam jargon diucapkan. Para politisi bicara berapi-api untuk menjaring suara di pemilu atau pilkada. Jangan-jangan kemiskinan itu sengaja dipelihara agar birokrat tetap bisa bikin program bagi-bagi benih unggul, alat pertanian; anak pejabat bisa gratis sekolah lewat program gratis pendidikan. Para bankir akan membuat skema kredit murah untuk bangun rumah keluarga, para peneliti punya obyek untuk diteliti. Para penda’i tidak kehilangan topic ceramah; “kemiskinan dekat pada kekufuran” sehingga harus dibela, tapi dia sendiri ogah bersedekah.
Yang berbicara atas nama kemiskinan semakin kaya dengan mobil dibudiya hingga lima, sedang si miskin tetap saja miskin. Dari tahun ke tahun, nasib mereka menderita dan berkubang airmata. Para penguasa terus mewanti-wanti bahwa kemiskinan dekat dengan kebodohan, dan orang miskin diidentikan orang bodoh. Maka mereka pun terus dibodoh-bodohi. Ternyata kemiskinan memang sengaja dilanggengkan. Semua itu bertujuan membudayakan kemiskinan, sehingga penguasa, penguasa, politisi, dan sikaya bisa terus menikmati kekayaannya. Sungguh, orang-orang semacam inilah yang benar-benar “miskin” karena mengekplotasi kemiskinan akibat kemiskinan moral dan fitrah.
Maka dari itu penulis membuat makalah ini, untuk melihat bagaimana orang-orang yang sukses yang berawal dari orang yang bukan apa-apa menjadi orang-orang yang terpandang, yang dapat lebih dihargai oleh orang lain, yang mungkin dapat menginspirasi kita untuk tudak mudah menyerah dalam menghadapi kehidupan. Mereka yang mendapat kesuksesan dari bawah, dan juga cara untuk mengentas kemiskinan.

B.        RUMUSAN MASALAH
            1.2.1    Bagaimana cerita hidup orang-orang sukses yang dimulai dari bawah?
            1.2.2    Bagaimana cara mengurangi angka kemiskinan di Indonesia?

C.        TUJUAN PENELITIAN
1.3.1    Untuk mengetahui cerita hidup orang-orang sukses yang dimulai dari bawah
            1.3.2    Untuk mengetahui cara mengurangi angka kemiskinan di Indonesia
BAB II KAJIAN EMPIRIS

            Dalam makalah yang penulis buat ini, penulis mendapatkan analisa dari media elektronik dan media cetak. Menggunakan metode deskripti kualitatif, dan kajian pustaka. Seperti ditulis Dr. Humam Hamid tentang Pemanasan Global dan Kemiskinan Lokal (Serambi, 23/05/2009), yang membahas dua katagori kemiskinan, yaitu kemiskinan “sementara” dan “kronis”. Kemiskinan sementara juga boleh disebut kemiskinan struktural terkait dengan ketidakadilan, misal, pembayaran upah yang tak sebanding dan ekploitasi, pengrusakan lingkungan sehingga orang kehilangan modal alam untuk hidup, termasuk pemungutan yang memberatkan dan memeras rakyat. Ketika keadilan tumbuh, maka mereka bisa berdaya lagi.Kemiskinan “kronis” terjadi akibat faktor-faktor biologis, psikologis dan sosial (malas, kurang trampil, kurang kemampuan intelektual, lemah fisik dan lainnya yang membuat orang sulit melakukan usaha atau bekerja. Sehingga orang menjadi miskin karena terperangkap kemiskinan.
3.1       TEMA EMPIRIS
            Dalam penelitian ini, menggunakan tema “Kemiskinan” yang ada di Indonesia, dan penulis mengambil judul “Kemiskinan Untuk Kesuksesan” 
BAB III ANALISA

3.1       Cerita Orang-Orang Sukses yang Dimulai Dari Bawah
            Setiap manusia ingin mempunyai kehidupan yang layak, kehidupan yang berkecukupan, maka dari itu setiap orang wajib berusaha untuk mendapatkan kehidupan yang mereka inginkan. Dan orang harus memulai dari bawah dengan kesabaran dan keuletan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan untuk dicapai. Banyak orang-orang sukses di Indonesia yang memulai kesuksesannya dari bawah, dari nol. Mereka menjalani kehidupan dengan kesabaran dan kerja keras untuk mencapai apa yang mereka impikan.
            Dan melalui makalah ini penulis menggunakan cerita orang-orang yang sukses yang dimulai dari bawah untuk bisa memberikan inspirasi, semangat untuk menjalani kehidupan dan tidak mudah menyerah untuk menjalani kehidupan. Dan bisa berusaha untuk kehidupan yang lebih baik. Berikut ini adalah beberapa cerita orang-orang sukses yang dimulai dari kehidupan mereka yang termasuk orang kurang mampu.

MUKHTAR RIADY
Orang banyak mengenal Mochtar Riady sebagai seorang praktisi perbankan jempolan dan seorang konglomerat yang visioner, pandangannya yang jauh ke depan dan sarat dengan filosofi menjadi panutan banyak para pengusaha dan para pelaku pasar. Kali ini kita akan menyoroti jalannya meniti sukses,yang tentu saja tidak semudah dibayangkan oleh banyak orang.
Mochtar Riady sudah bercita-cita menjadi seorang bankir di usia 10 tahun. Ketertarikan Riady yang dilahirkan di Malang pada tanggal 12 mei 1929 ini disebabkan karena setiap hari ketika berangkat sekolah, dia selalu melewati sebuah gedung megah yang merupakan kantor dari Nederlandsche Handels Bank (NHB) dan melihat para pegawai bank yang berpakaian parlente dan kelihatan sibuk. Riady adalah anak seorang pedagang batik. Pada tahun 1947, Riady ditangkap oleh pemerintah Belanda dan di buang ke Nanking, Cina, di sana ia kemudian mengambil kuliah filosofi di University of Nanking .Namun, karena ada perang, Riady pergi ke Hongkong hingga tahun 1950 dan kemudian kembali ke Indonesia.
Riady masih sangat ingin menjadi seorang bankir, namun ayahnya tidak mendukung karena profesi bankir menurut ayahnya hanya untuk orang kaya, sedangkan kondisi keluarga mereka saat itu sangat miskin.
Pada tahun 1951 ia menikahi seorang wanita asal jember, oleh mertuanya, Riady diserahi tanggungjawab untuk mengurus sebuah toko kecil. Dalam tempo tiga tahun Riady telah dapat memajukan toko mertuanya tersebut menjadi yang terbesar di kota Jember. Cita-citanya yang sangat ingin menjadi seorang bankir membuatnya untuk memutuskan pergi ke Jakarta pada tahun 1954, walaupun saat itu dia tidak memiliki seorang kenalan pun di sana dan ditentang oleh keluarganya. Riady berprinsip bahwa jika sebuah pohon ditanam di dalam pot atau di dalam rumah tidak akan pernah tinggi, namun akan terjadi sebaliknya bila ditanam di sebuah lahan yang luas.
Untuk mencari relasi, Riady bekerja di sebuah CV di jalan hayam wuruk selama enam bulan, kemudian ia bekerja pada seorang importer, di waktu bersamaan ia pun bekerjasama dengan temannya untuk berbisnis kapal kecil. Sampai saat itu,Riady masih sangat ingin menjadi seorang bankir, di setiap kali bertemu relasinya, ia selalu mengutarakan keinginannya itu. Suatu saat temannya mengabari dia jika ada sebuah bank yang lagi terkena masalah dan menawarinya untuk memperbaikinya, Riady tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut walau saat itu dia tidak punya pengalaman sekalipun. Riady berhasil meyakinkan Andi Gappa, pemilik Bank Kemakmuran yang bermasalah tersebut sehingga ia pun ditunjuk menjadi direktur di bank tersebut.
Di hari pertama sebagai direktur, Riady sangat pusing melihat balance sheet, dia tidak bisa bagaimana cara membaca dan memahaminya, namun Riady pura-pura mengerti di depan pegawai akunting. Sepanjang malam dia mencoba belajar dan memahami balance sheet tersebut,namun sia sia, lalu dia meminta tolong temannya yang bekerja di Standar Chartered Bank untuk mengajarinya, tetapi masih saja tidak mengerti.
Akhirnya dia berterus terang terhadap para pegawainya dan Pak Andi Gappa, tentu saja mereka cukup terkejut mendengarnya. Permintaan Riady pun untuk mulai bekerja dari awal disetujuinya, mulai dari bagian kliring, cash, dan checking account. Selama sebulan penuh Riady belajar dan akhirnya ia pun mengerti tentang proses pembukuan, dan setelah membayar seorang guru privat ia akhirnya mengerti apakah itu akuntansi. Maka mulailah dia menjual kepercayaan, hanya dalam setahun Bank Kemakmuran mengalami banyak perbaikan dan tumbuh pesat. Setelah cukup besar, pada tahun 1964, Riady pindah ke Bank Buana, kemudian di tahun 1971, dia pindah lagi ke Bank Panin yang merupakan gabungan dari Bank Kemakmuran, Bank Industri Jaya, dan Bank Industri Dagang Indonesia.
Mochtar Riady hampir selalu sukses dalam mengembangkan sebuah bank, dia memiliki filosofi tersendiri yang ia sebut sebagai Lie Yi Lian Dje. Lie berarti ramah, Yi memiliki karakter yang baik, Lian adalah kejujuran sedangkan Dje adalah memiliki rasa malu. Visi dan pandangan Riady yang jauh ke depan seringkali membuat orang kagum, dia dapat dengan cepat membaca situasi pasar dan dengan segera pula menyikapinya.
Salah satu contohnya ketika dia berhasil menyelamatkan Bank Buana tahun 1966. Saat itu Indonesia sedang mengalami masa krisis karena Indonesia berada pada masa perubahan ekonomi secara makro, ketika itu Riady sedang berkuliah malam di UI, disitu dia dikenalkan dengan beberapa pakar ekonomi seperti Emil Salim, Ali Wardhana,dkk. Riady segera sadar dan segera mengubah arah kebijakan Bank Buana.
Pertama, dia menurunkan suku bunga dari 20 % menjadi 12 %, padahal pada waktu itu semua bank beramai-ramai menaikkan suku bunganya. Karena suku bunga yang rendah tersebut maka para nasabah yang memiliki kredit yang belum lunas segera membayar kewajibannya. Sedangkan para usahawan yang akan meminjam diberi syarat ketat khususnya dalam hal jaminan, namun karena bunga yang ditawarkan Bank Buana sangat rendah dibanding yang lain maka banyak debitur yang masuk dan tak ragu untuk memberikan jaminan. Dengan cara itu Bank Buana menjadi sehat padahal pada waktu itu banyak klien dan bank yang bangkrut. Dengan otomatis orang mengenal siapa Mochtar Riady.
Mochtar Riady yang lahir di Malang, Jawa Timur 12 Mei 1929 adalah pendiri Grup Lippo, sebuah grup yang memiliki lebih dari 50 anak perusahaan. Jumlah seluruh karyawannya diperkirakan lebih dari 50 ribu orang. Aktivitas perusahaannya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga hadir di kawasan Asia Pasifik, terutama di Hong Kong, Guang Zhou, Fujian, dan Shanghai.
Sejarah Grup Lippo bermula ketika Mochtar Riady yang memiliki nama Tionghoa, Lie Mo Tie membeli sebagian saham di Bank Perniagaan Indonesia milik Haji Hasyim Ning pada 1981. Waktu dibeli, aset bank milik keluarga Hasyim telah merosot menjadi hanya sekitar Rp 16,3 miliar. Mochtar sendiri pada waktu itu tengah menduduki posisi penting di Bank Central Asia, bank yang didirikan oleh keluarga Liem Sioe Liong. Ia bergabung dengan BCA pada 1975 dengan meninggalkan Bank Panin.
Di BCA Mochtar mendapatkan share sebesar 17,5 persen saham dan menjadi orang kepercayaan Liem Sioe Liong. Aset BCA ketika Mochtar bergabung hanya Rp 12,8 miliar. Mochtar baru keluar dari BCA pada akhir 1990 dan ketika itu aset bank tersebut sudah di atas Rp 5 triliun.
Bergabung dengan Hasyim Ning membuat ia bersemangat. Pada 1987, setelah ia bergabung, aset Bank Perniagaan Indonesia melonjak naik lebih dari 1.500 persen menjadi Rp 257,73 miliar. Hal ini membuat kagum kalangan perbankan nasional. Ia pun dijuluki sebagai The Magic Man of Bank Marketing. Dua tahun kemudian, pada 1989, bank ini melakukan merger dengan Bank Umum Asia dan semenjak saat itu lahirlah Lippobank.

SUKAMDANI SAHID G (SI RAJA HOTEL)
June 7, 2008 by husyap
Siapakah raja properti sektor perhotelan di Indonesia? Secara spontan niscaya orang akan menjawab: Sukamdani Sahid Gitosardjono. Ya, meskipun Sukamdani baru saja melepaskan jabatan sebagai direktur utama PT Hotel Sahid Jaya Internasional (HSJI) dan mempercayakan jabatan itu kini kepada mantan Dirut PT Telkom Setyanto P. Santosa, namun tak pantas disangkal Sukamdani tetap pantas dijuluki raja hotel di negeri ini. Lelaki berperawakan tegap dan murah senyum ini kini mempunyai 2.350 kamar hotel. Jaringan hotelnya berjejer mulai dari Lampung sampai Sorong di Irian Jaya. Dan, setelah dua hotelnya yang baru di Senggigi Lombok dan Ujung Pandang selesai, lengkap sudah 2.750 kamar jaringan bisnis hotel Sukamdani. Jumlahnya menjadi 14 hotel, mulai dari bintang tiga sampai bintang lima berlian.
Tak hanya itu. Masih banyak ambisi pengusaha nasional itu di bidang properti. Berdekatan dengan markas besar bisnisnya di Hotel Sahid Jaya & Tower sekarang, segera pula dibangun Grand Sahid Plaza. Hotel bertaraf internasional dengan jumlah lantai 50 itu akan menjadi hotel tertinggi di Indonesia. Belum lagi dua menara Apartemen Istana Sahid, 26 lantai, yang tampak makin mentereng. Hotel dan apartemen itu adalah tiang dari suatu proyek raksasa yang lebih besar: Superblok Sahid. Tak hanya di Jakarta di Ujung Pandang pun Sukamdani tengah menyiapkan superblok pertama di luar Jawa. Di kota ini ia bekerja sama dengan konglomerat Yusuf Kalla.
Begitu proyek-proyek besar Grup Sahid terselesaikan semuanya, akan mengukuhkan Sukamdani sebagai salah seorang raja properti negeri ini. Apalagi, khusus di bidang manajemen hotel, Sukamdani berambisi merambah pasar manajamen hotel di luar negeri. Adalah Sukamdani juga yang gusar, hotel-hotel di Indonesia dikelola oleh manajemen asing, padahal hotel itu dibangun dengan dana dari dalam negeri. Lebih dari 30 hotel ditangani oleh manajemen asing. Kita ini sebagai bangsa bagaimana? Ungkap Sukamdani dengan nada tinggi.
Kita mempunyai modal. Pertama, semangat sebagai bangsa. Kedua, kita sudah punya aset milik sendiri 14 hotel (dari hotel bintang 3 sampai 5 berlian). Ketiga, kita sudah punya organisasi dan pengalaman dalam me-manage hotel. Keempat, kita punya kepercayaan dari masyarakat. Kelima, kita punya akses pasar baik di dalam maupun luar negeri. Kita sudah 30 tahun me-mange- hotel. Dengan pengalaman itu kan kita sudah punya akses pasar.
Untuk itu, kita juga punya orang-orang yang mampu me-manage hotel. Dari 12 hotel yang sekarang ada, yang menyewa tenaga asing hanya Sahid Jaya Hotel. Hotel kita yang lainnya adalah orang Indonesia. Mereka memulai karier, bahkan ada yang dari doorman, office boy dan room boy, kini banyak yang sudah jadi general manager.
Sukamdani lahir di Solo, 14 Maret 1928. Masa kecilnya dijalani di Sukohardjo, Solo, Ketika Sukamdanii kecil, kehidupan orangtuanya prihatin. Bapaknya R. Sahid Djogosentono membuka usaha jahitan. Sedang ibunya membuka warung kecil-kecilan yang menjual makanan kecil. Dalam usia 8 tahun, Sukamdani sudah membantu kedua orang tuanya mencari nafkah. Selain membantu bapaknya, ia juga membantu ibunya berjualan. “Untuk menyiapkan keperluan barang dagangan, saya ke pasar berbelanja membeli sabun, teh, rokok, pisang dan kelapa,” cerita Sukamdani. Tiap kali dagangan laku, ibunya memberi persenan. Uang itu ditabung. Kalau sudah banyak Sukamdani membeli ayam. “Kalau ayam sudah banyak, saya jual lalu dibelikan kambing. Setelah kambing saya banyak, saya jual untuk beli kerbau,” kenangnya. Di saat liburan Sekolah Sukamdani membantu menuai padi di sawah.
Tahun 1952, Sukamdani muda merantau ke Jakarta untuk memperbaiki nasib, Waktu turun dari kereta api di Stasiun Gambir, modalnya hanyalah sebuah kopor dan sebuah sepeda. Ia sempat bekerja di Depdagri. Tapi dengan pertimbangan penghasilan, lalu keluar dan bekerja di percetakan NV Harapan Masa. Dengan penghasilan yang pas-pasan, Sukamdani berani menikah dengan Juliah, kekasihnya waktu di Solo. Pasangan itu menyewa rumah berdinding gedeg. Kamarnya hanya satu berukuran 3 x 3.
Karena keuletannya, apalagi setelah membuka usaha percetakan sendiri, Sukamdani berhasil membeli tanah di tempat ia menyewa rumah itu. Dan, tanah itu, tak lain adalah tempat berdirinya Hotel Sahid Jaya sekarang di Jalan Sudirman. “Dulu rumah saya di sini,” kenang Sukamdani.
Kerja keras dan keuletan akhirnya mengantarkannya sebagai raja properti perhotelan. Selain bisnis, Sukamdani aktif di berbagai organisasi. Ia juga penerima 15 tanda jasa dan bintang kehormatan, dari pemerintah RI maupun dari negara sahabat.

EKA TJIPTA WIJAYA (SAYA BELAJAR DI PINGGIR JALAN…”)
June 7, 2008 by husyap
Bersama ibu, saya ke Makassar tahun 1932 pada usia sembilan tahun. Kami berlayar tujuh hari tujuh malam. Lantaran miskin, kami hanya bisa tidur di tempat paling buruk di kapal, di bawah kelas dek. Hendak makan masakan enak, tak mampu. Ada uang lima dollar, tetapi tak bisa dibelanjakan, karena untuk ke Indonesia saja kami masih berutang pada rentenir, 150 dollar.
Tiba di Makassar, Eka kecil – masih dengan nama Oei Ek Tjhong – segera membantu ayahnya yang sudah lebih dulu tiba dan mempunyai toko kecil. Tujuannya jelas, segera mendapatkan 150 dollar, guna dibayarkan kepada rentenir. Dua tahun kemudian, utang terbayar, toko ayahnya maju. Eka pun minta Sekolah. Tapi Eka menolak duduk di kelas satu.
Tamat SD, ia tak bisa melanjutkan sekolahnya karena masalah ekonomi. Ia pun mulai jualan. Ia keliling kota Makassar, menjajakan biskuit dan kembang gula. Hanya dua bulan, ia sudah mengail laba Rp. 20, jumlah yang besar masa itu. Harga beras ketika itu masih 3-4 sen per kilogram. Melihat usahanya berkembang, Eka membeli becak untuk memuat barangnya.
Namun ketika usahanya tumbuh subur, datang Jepang menyerbu Indonesia, termasuk ke Makassar, sehingga usahanya hancur total. Ia menganggur total, tak ada barang impor/ekspor yang bisa dijual. Total laba Rp. 2000 yang ia kumpulkan susah payah selama beberapa tahun, habis dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Di tengah harapan yang nyaris putus, Eka mengayuh sepeda bututnya dan keliling Makassar. Sampailah ia ke Paotere (pinggiran Makassar, kini salah satu pangkalan perahu terbesar di luar Jawa). Di situ ia melihat betapa ratusan tentara Jepang sedang mengawasi ratusan tawanan pasukan Belanda. Tapi bukan tentara Jepang dan Belanda itu yang menarik Eka, melainkan tumpukan terigu, semen, gula, yang masih dalam keadaan baik. Otak bisnis Eka segera berputar. Secepatnya ia kembali ke rumah dan mengadakan persiapan untuk membuka tenda di dekat lokasi itu. Ia merencanakan menjual makanan dan minuman kepada tentara Jepang yang ada di lapangan kerja itu.
Keesokan harinya, masih pukul empat subuh, Eka sudah di Paotere. Ia membawa serta kopi, gula, kaleng bekas minyak tanah yang diisi air, oven kecil berisi arang untuk membuat air panas, cangkir, sendok dan sebagainya. Semula alat itu ia pinjam dari ibunya. Enam ekor ayam ayahnya ikut ia pinjam. Ayam itu dipotong dan dibikin ayam putih gosok garam. Dia juga pinjam satu botol wiskey, satu botol brandy dan satu botol anggur dari teman-temannya.
Jam tujuh pagi ia sudah siap jualan. Benar saja, pukul tujuh, 30 orang Jepang dan tawanan Belanda mulai datang bekerja. Tapi sampai pukul sembilan pagi, tidak ada pengunjung. Eka memutuskan mendekati bos pasukan Jepang. Eka mentraktir si Jepang makan minum di tenda. Setelah mencicipi seperempat ayam komplit dengan kecap cuka dan bawang putih, minum dua teguk whisky gratis, si Jepang bilang joto. Setelah itu, semua anak buahnya dan tawanan diperbolehkan makan minum di tenda Eka. Tentu saja ia minta izin mengangkat semua barang yang sudah dibuang.
Segera Eka mengerahkan anak-anak sekampung mengangkat barang-barang itu dan membayar mereka 5 – 10 sen. Semua barang diangkat ke rumah dengan becak. Rumah berikut halaman Eka, dan setengah halaman tetangga penuh terisi segala macam barang. Ia pun bekerja keras memilih apa yang dapat dipakai dan dijual. Terigu misalnya, yang masih baik dipisahkan. Yang sudah keras ditumbuk kembali dan dirawat sampai dapat dipakai lagi. Ia pun belajar bagaimana menjahit karung.
Karena waktu itu keadaan perang, maka suplai bahan bangunan dan barang keperluan sangat kurang. Itu sebabnya semen, terigu, arak Cina dan barang lainnya yang ia peroleh dari puing-puing itu menjadi sangat berharga. Ia mulai menjual terigu. Semula hanya Rp. 50 per karung, lalu ia menaikkan menjadi Rp. 60, dan akhirnya Rp. 150. Untuk semen, ia mulai jual Rp. 20 per karung, kemudian Rp. 40.
Kala itu ada kontraktor hendak membeli semennya, untuk membuat kuburan orang kaya. Tentu Eka menolak, sebab menurut dia ngapain jual semen ke kontraktor? Maka Eka pun kemudian menjadi kontraktor pembuat kuburan orang kaya. Ia bayar tukang Rp. 15 per hari ditambah 20 persen saham kosong untuk mengadakan kontrak pembuatan enam kuburan mewah. Ia mulai dengan Rp. 3.500 per kuburan, dan yang terakhir membayar Rp. 6.000. Setelah semen dan besi beton habis, ia berhenti sebagai kontraktor kuburan.
Demikianlah Eka, berhenti sebagai kontraktor kuburan, ia berdagang kopra, dan berlayar berhari-hari ke Selayar (Selatan Sulsel) dan ke sentra-sentra kopra lainnya untuk memperoleh kopra murah.
Eka mereguk laba besar, tetapi mendadak ia nyaris bangkrut karena Jepang mengeluarkan peraturan bahwa jual beli minyak kelapa dikuasai Mitsubishi yang memberi Rp. 1,80 per kaleng. Padahal di pasaran harga per kaleng Rp. 6. Eka rugi besar.
Ia mencari peluang lain. Berdagang gula, lalu teng-teng (makanan khas Makassar dari gula merah dan kacang tanah), wijen, kembang gula. Tapi ketika mulai berkibar, harga gula jatuh, ia rugi besar, modalnya habis lagi, bahkan berutang. Eka harus menjual mobil jip, dua sedan serta menjual perhiasan keluarga termasuk cincin kawin untuk menutup utang dagang.
Tapi Eka berusaha lagi. Dari usaha leveransir dan aneka kebutuhan lainnya. Usahanya juga masih jatuh bangun. Misalnya, ketika sudah berkibar tahun 1950-an, ada Permesta, dan barang dagangannya, terutama kopra habis dijarah oknum-oknum Permesta. Modal dia habis lagi. Namun Eka bangkit lagi, dan berdagang lagi.
Usahanya baru benar-benar melesat dan tak jatuh-jatuh setelah Orde Baru, era yang menurut Eka, “memberi kesejukkan era usaha”. Pria bertangan dingin ini mampu membenahi aneka usaha yang tadinya “tak ada apa-apanya” menjadi “ada apa-apanya”. Tjiwi Kimia, yang dibangun 1976, dan berproduksi 10.000 ton kertas (1978) dipacu menjadi 600.000 ton sekarang ini.
Tahun 1980-1981 ia membeli perkebunan kelapa sawit seluas 10 ribu hektar di Riau, mesin serta pabrik berkapasitas 60 ribu ton. Perkebunan dan pabrik teh seluas 1.000 hektar berkapasitas 20 ribu ton dibelinya pula. Tahun 1982, ia membeli Bank Internasional Indonesia. Awalnya BII hanya dua cabang dengan aset Rp. 13 milyar. Setelah dipegang dua belas tahun, BII kini memiliki 40 cabang dan cabang pembantu, dengan aset Rp. 9,2 trilyun. PT Indah Kiat juga dibeli. Produksi awal (1984) hanya 50.000 ton per tahun. Sepuluh tahun kemudian produksi Indah Kiat menjadi 700.000 ton pulp per tahun, dan 650.000 ton kertas per tahun. Tak sampai di bisnis perbankan, kertas, minyak, Eka juga merancah bisnis real estate. Ia bangun ITC Mangga Dua, ruko, apartemen lengkap dengan pusat perdagangan. Di Roxy ia bangun apartemen Green View, di Kuningan ada Ambassador.
“Saya Sungguh menyadari, saya bisa seperti sekarang karena Tuhan Maha Baik. Saya sangat percaya Tuhan, dan selalu ingin menjadi hamba Nya yang baik,” katanya mengomentari semua suksesnya kini.
“Kecuali itu, hematlah,” tambahnya. Ia menyarankan, kalau hendak menjadi pengusaha besar, belajarlah mengendalikan uang. Jangan laba hanya Rp. 100, belanjanya Rp. 90. Dan kalau untung Cuma Rp. 200, jangan coba-coba belanja Rp. 210,” Waahhh, itu cilaka betul,” katanya.
Setelah 58 tahun berbisnis dan bergelar konglomerat, Eka mengatakan, dia pribadi sebenarnya sangat miskin. “Tiap memikirkan utang berikut bunganya yang demikian besar, saya tak berani menggunakan uang sembarangan. Ingin rehat susah, sebab waktu terkuras untuk bisnis. Terasa benar tak ada waktu menggunakan uang pribadi,” Eka mengeluh. Hendak makan makanan enak, lanjutya, sulit benar karena makanan enak rata-rata berkolesterol tinggi.
Inilah ironi, kata Eka. Dulu ia susah makan makanan enak karena miskin. Kini ketika sudah “konglomerat” (dengan 70 ribu karyawan dan hampir 200 perusahaan), Eka tetap susah makan enak, karena takut kolestrol. Usia ayah delapan anak kelahiran 3 Oktober 1923 ini sudah hampir 73 tahun. Usia yang menuntutnya menjaga kesehatan secara ketat dan prima.

3.2       Cara Mengatasi Kemiskinan di Indonesia
Tanggapan utama terhadap kemiskinan adalah:
Bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak zaman pertengahan.
Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang dijalankan untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukuman, pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain.
Persiapan bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara langsung kepada orang miskin, banyak negara sejahtera menyediakan bantuan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan.

Pendidikan
Hampir tidak ada yang membantah bahwa pendidikan adalah pionir dalam pembangunan masa depan suatu bangsa.

 Jika dunia pendidikan suatu bangsa sudah jeblok, maka kehancuran bangsa tersebut tinggal menunggu waktu. Sebab, pendidikan menyangkut pembangunan karakter dan sekaligus mempertahankan jati diri manusia suatu bangsa. Karena itu, setiap bangsa yang ingin maju, maka pembangunan dunia pendidikan selalu menjadi prioritas utama.
Kisah Jepang, ketika luluh lantak akibat meledaknya bom di Nagasaki dan Hirosima adalah contoh nyatanya. Ketika itu, Jepang secara fisik telah hancur. Tetapi tak berselang beberapa waktu setelah itu, Jepang bangkit dan kini telah berdiri kokoh sebagai salah satu negara maju. Dalam konteks inilah, salah satu kunci utama keberhasilan Jepang adalah pembangunan dunia pendidikan, yang pada gilirannya membangun kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) ditetapkan sebagai prioritas.
Bagaimana dengan Indonesia? Hampir tak ada yang membantah bahwa kualitas pendidikan di Indonesia saat sekarang ini belumlah terlalu bagus, alias jeblok. Bahkan, kalau sedikit lebih ekstrim, kita dapat menyebut kualitas pendidikan kita anjlok, rendah dan memprihatinkan. Keberadaan atau posisi kita jauh di bawah negara-negara lain. Hal itu terlihat dari angka Human Development Indeks (HDI) yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga internasional, yang menunjukkan bahwa posisi kualitas sumber daya manusia Indonesia sangatlah rendah.
Kemudian,  pada saat yang sama tingkat kemiskinan di negeri ini sungguh fantastis. Sangat besar dan mengkhawatirkan. Kita semua paham bahwa kemiskinan kini merupakan simbol yang tentunya sangat memalukan. Besarnya angka kemiskinan di Indonesia saat ini setara dengan kondisi 15 tahun yang lalu. Berdasarkan data (BPS), jumlah penduduk miskin pada tahun 2004 36,1 juta orang atau 16,6 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Tingkat kemiskinan  dan pengangguran di Indonesia masih paling tinggi di antara negara-negara ASEAN. Demikian pula dalam indeks pembangunan manusia HDI, Indonesia masih menempati peringkat 111 dari 175 negara di dunia. Posisi ini jauh di bawah negara tetangga Malaysia (76) dan Filipina (98).
Beberapa waktu yang lalu, Bank Dunia juga mengeluarkan data terbaru perihal kemiskinan kita. Banyak pihak terkejut dengan pernyataan ini. Tak dapat kita bayangkan, sesuai data Bank Dunia, lebih dari 110 juta jiwa penduduk Indonesia tergolong miskin atau setara dengan 53,4 persen dari total penduduk. Suatu jumlah yang amat fantastis. Hampir separoh penduduk Indonesia. Hal ini tak pernah kita duga sebelumnya.
Dalam ukuran yang lebih mikro lagi, jumlah ketidaklulusan siswa SLTP dan SMU tahun 2006 ini, tergolong tinggi. Bahkan di beberapa sekolah ada yang tingkat kelulusannya nol persen. Suatu realita yang sangat memalukan. Padahal, standar kelulusan yang ditetapkan Depdiknas tidak terbilang tinggi.
Persoalannya, bagaimanakah masa depan bangsa ini? Atau bagaimana kualitas SDM kita? Harus diakui bahwa persoalan kualitas sumber daya manusia (SDM) memang berkaitan erat dengan mutu pendidikan. Sementara mutu pendidikan sendiri masih dipengaruhi oleh banyak hal dan sangat kompleks. Misalnya, bagaimana kualitas dan penyebaran guru, ketersediaan sarana dan prasarana, sistem pendidikan, dan lain-lain. Hal ini sering kita sebut dengan istilah faktor utama.
Salah satu hal yang menjadi sangat penting untuk mengatasi hal tersebut di atas, adalah dengan menumbuhkan political will pemerintahan sekarang ini untuk lebih memperhatikan sektor pendidikan. Bagaimana pemerintah misalnya mau menempatkan persoalan pendidikan sebagai salah satu prioritas dalam pengambilan kebijakannya. Pembangunan pendidikan adalah modal utama dalam membangun suatu bangsa. Sebab, pendidikan terkait dengan kualitas SDM. Maka, jika bangsa ini ingin maju, maka pembangunan dunia pendidikan adalah syarat mutlak yang harus dilakukan.



BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1       Kesimpulan
1.         Banyak orang-orang sukses yang memulai usahanya dari bawah dan membuahkan hasil yang sangat memuaskan.
2.         Kesuksesan dapat diraih dengan usaha kerja keras dan berdoa.

4.2       Saran
1.         Pemerintah seharusnya dapat memperbaiki pendidikan di Indonesia untuk memajukan Sumber Daya Manusia
2.         masyarakat Indonesia tidak putus asa dan tetap berdoa untuk dapat mendapatkan kehidupan yang lebih layak.


DAFTAR PUSTAKA

www.google.com diakses tanggal 27 Desember 2009
(Kemiskinan. Cerita orang sukses. Cara mengatasi kemiskinan)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar